EdukasiPendidikan

Sikap Kritis Terhadap Iklan: Mengajarkan Membaca Manipulasi Digital

Di era media sosial dan platform digital, remaja, khususnya siswa SMP, dibanjiri oleh konten iklan yang dirancang secara persuasif, bahkan manipulatif. Iklan digital, mulai dari influencer marketing hingga pop-up yang personal, berpotensi memengaruhi keputusan finansial dan pandangan diri mereka secara negatif. Oleh karena itu, kemampuan Mengajarkan Membaca dan menganalisis pesan di balik iklan menjadi bagian esensial dari literasi digital. Mengajarkan Membaca manipulasi ini bukan hanya tentang menghemat uang, tetapi juga membangun pertahanan kognitif terhadap framing dan bias. Sekolah memiliki peran krusial dalam Mengajarkan Membaca intensi tersembunyi di balik layar gawai mereka.


Tiga Strategi Iklan Digital yang Harus Dikenali

Untuk membangun sikap kritis, siswa perlu mengenali tiga strategi manipulatif utama yang digunakan dalam iklan digital:

  1. Fear of Missing Out (FOMO): Iklan menciptakan urgensi palsu (“Hanya tersedia 24 jam!”) yang menekan remaja untuk membeli sebelum mereka benar-benar berpikir.
  2. Bandwagon Effect: Menunjukkan bahwa “semua orang” atau influencer populer telah menggunakan produk tersebut, memicu keinginan remaja untuk menyesuaikan diri dengan kelompok.
  3. Visual Perfectionism: Menggunakan foto atau video yang sangat disunting (editing) untuk menciptakan standar kecantikan atau gaya hidup yang tidak realistis, memicu rasa tidak puas pada diri sendiri.

Guru Ekonomi atau Guru TIK di sekolah dapat menggunakan contoh-contoh iklan populer di media sosial sebagai studi kasus. Misalnya, di SMP Dharma Bakti di Kota Surabaya, siswa kelas VIII pada hari Senin diminta menganalisis sebuah iklan produk perawatan kulit, mengidentifikasi manipulasi visual dan retorika yang digunakan, sebagai bagian dari tugas Digital Literacy.


Mengintegrasikan Literasi Finansial dan Kritis

Sikap kritis terhadap iklan harus dihubungkan dengan literasi finansial. Siswa perlu memahami konsep wants (keinginan) versus needs (kebutuhan) dan bagaimana iklan secara sistematis mendorong wants.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Provinsi Sulawesi Selatan telah menyediakan modul Literasi Keuangan untuk Remaja. Modul ini, yang diintegrasikan ke dalam mata pelajaran IPS, mencakup sesi tentang “Anggaran dan Iklan” yang diajarkan selama dua minggu di bulan September 2025. Modul ini menekankan perlunya menunda pembelian (pengecekan 24 jam) dan membandingkan harga sebelum membuat keputusan belanja impulsif yang dipicu oleh iklan.


Batasan Etika dan Hukum dalam Iklan

Penting juga bagi siswa untuk mengetahui bahwa iklan memiliki batasan etika dan hukum. Iklan tidak boleh mengandung unsur SARA, merendahkan, atau menyesatkan. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) secara aktif mengawasi iklan, terutama produk makanan, minuman, dan kosmetik.

Dalam kasus yang lebih ekstrem, iklan yang melanggar norma kesusilaan atau yang melibatkan penipuan siber berada di bawah yurisdiksi penegak hukum. Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), melalui Dit Reskrimsus Polda setempat, berwenang menindak iklan yang memuat unsur penipuan, seperti yang terjadi pada penindakan kasus investasi bodong yang diiklankan di media sosial pada Kamis, 10 April 2025. Dengan tools kritis ini, siswa diharapkan mampu mengonsumsi informasi digital secara cerdas dan aman.