beritaPendidikan

Pinjaman Pendidikan: Solusi atau Jebakan Baru Bagi Akses Kuliah di Tengah UKT yang Melonjak?

Di tengah gelombang kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang signifikan di berbagai perguruan tinggi, pinjaman pendidikan mulai mencuat sebagai alternatif pembiayaan bagi mahasiswa. Sektor fintech pendidikan dan lembaga keuangan lainnya gencar menawarkan kemudahan akses dana untuk membiayai kuliah. Namun, pertanyaan besar muncul: apakah ini adalah solusi nyata untuk memperluas akses pendidikan, atau justru jebakan baru yang berpotensi menimbulkan beban utang jangka panjang?

Bagi sebagian mahasiswa dan keluarga, pinjaman pendidikan memang tampak seperti jalan keluar yang paling memungkinkan. Ketika orang tua kesulitan menanggung biaya kuliah yang melonjak tinggi, opsi pinjaman ini menawarkan harapan agar anak-anak mereka tetap bisa melanjutkan studi. Misalnya, pada awal tahun ajaran 2024/2025, tercatat lonjakan pendaftar pinjaman pendidikan di salah satu platform resmi di Jakarta. Peningkatan ini didominasi oleh mahasiswa dari program studi dengan UKT tinggi yang tidak memenuhi syarat beasiswa pemerintah. Pihak penyedia pinjaman mengklaim skema pembayaran fleksibel yang disesuaikan dengan kemampuan calon lulusan.

Namun, di balik kemudahan tersebut, tersimpan potensi risiko yang tidak bisa diabaikan. Tingkat bunga dan skema pembayaran cicilan menjadi poin krusial yang harus dicermati. Beberapa pinjaman pendidikan yang tidak diatur dengan baik dapat memiliki bunga yang tinggi dan denda keterlambatan yang memberatkan. Hal ini berpotensi menjerat lulusan ke dalam lingkaran utang bahkan sebelum mereka memulai karier. Kekhawatiran ini semakin menguat mengingat pasar kerja yang tidak selalu menjamin pendapatan tinggi bagi semua lulusan.

Selain itu, munculnya pinjaman pendidikan juga secara tidak langsung menggeser tanggung jawab pembiayaan pendidikan dari negara dan institusi ke individu. Jika terus-menerus mengandalkan pinjaman, kebijakan UKT yang terus meningkat tidak akan menemukan rem-nya. Kondisi ini dapat menciptakan preseden bahwa pendidikan tinggi adalah komoditas yang sepenuhnya harus dibiayai secara pribadi, alih-alih hak yang didukung oleh negara.

Meskipun demikian, tidak semua pinjaman pendidikan buruk. Beberapa lembaga menawarkan skema yang lebih adil dengan bunga rendah dan jangka waktu pembayaran yang realistis. Penting bagi mahasiswa dan orang tua untuk melakukan riset mendalam, memahami syarat dan ketentuan, serta mempertimbangkan kemampuan finansial jangka panjang sebelum mengambil keputusan. Transparansi dari penyedia pinjaman dan regulasi yang kuat dari pemerintah menjadi kunci agar pinjaman pendidikan benar-benar menjadi solusi, bukan jebakan.